Salah satu
ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur
Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977,
yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he
characterized his point of view as the “meaning theory.” In developing it, he
laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.” He showed that
understanding, not sheer repetition, is the basis for children's mathematical
learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada
aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan
belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan
dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika
dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang
muncul pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan
hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam
kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam pengertian.
Khusus
dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna) yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan
alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).
Teori
Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi
yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang
dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan
bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara
stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap
suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai
akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena
sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan dirinya ke
jenjang kesuksesan berikutnya.
Menurut teori drill ikatan antara
stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa dengan latihan
berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau
menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai
berikut:
a. Matematika (aritmatika) untuk tujuan
pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur) yang
berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b. Anak diharuskan untuk menguasai
unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.
c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam
bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada kesempatan lain.
d. Anak akan mencapai tujuan ini secara
efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.
Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada
pengajaran matematika.
a.
Teori
drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin
dicapai. Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata
tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa
penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau
43 + 6 = 49, dan sebagainya.
b. Keberatan yang lainnya berkaitan
dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan drill pada
keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai reaksi
dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6
dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau
mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya
dengan sering mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua
tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari
siswa yang dapat menjawab dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini
menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa
di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka relatif lebih
sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
c. Aritmetika adalah paling tepat
dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini merupakan
kriteria penilaian suatu sistem
pengajaran matematika yang memadai atau tidak. Jelas dari sudut pandang ini,
teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui
drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa
dapat berfikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang
dipejarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem
pengajaran aritmetika melalui drill (balapan).
Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan
operasi-operai hitung secara mekanis dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah
mengembangkan atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak
lebih menantang kegiatan berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program
aritmetika di SD haruslah membahas tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning)
dari bilangan. Pentingnya bilangan (the
significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan
keseharian manusia.
Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau
dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna
bilangan (the meaning of number)
adalah bersifat intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem
kuantitatif.
Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh Brownel,
menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar mengetahui cara
menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana
prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui makna
dari apa yang dipelajari.
Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus
diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia
tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru,
siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.
Implikasi teori perkembangan
kognitif Brownell
dalam pembelajaran sebagai berikut:
a.
Bahasa dan cara berfikir anak
berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan
bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.
Anak-anak akan belajar lebih baik
apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar
dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.
Bahan yang harus dipelajari anak
hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.
Berikan peluang agar anak belajar
sesuai tahap perkembangannya.
e.
Siswa hendaknya diberi peluang untuk
saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang
dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran operasi hitung akan mudah dipahami
oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya diikutsertakan dalam proses
operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika dengan bermakna
saja yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi
bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang
bermakna yang telah dan akan melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika.
Tentu saja pengajar (guru) matematika harus berusaha mengajar dengan efektif
dan bermakna. Karena pada hakikatnya mengajarkan matematika dengan lebih
bermakna akan mengantarkan siswa pada sikap menghargai matematika sebagai ilmu
yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Hudoyo, Herman.1988.Belajar
Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
Sudjana,
Nana. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru
Algensindo Offset.
William
Arthur Brownell, Education: Berkeley , University of
California: In Memoriam, September 1978
Tidak ada komentar:
Posting Komentar