Di
Amerika Serikat, perjuangan guru untuk perbaiki nasibnya dianggap sebagai cikal
bakal MBS atau desentralisasi pengelolaan sekolah. Perjalanannya sudah
berlangsung cukup panjang yaitu dengan dibentuknya Asosiasi Pendidikan Nasional
(National Education Association, NEA)
pada tahun 1857. Pada tahun 1887 itu, guru-guru di New York membentuk sebuah
asosiasi kepentingan bersama dan asosiasi yang sama didirikan di Chicago,
dipimpin oleh Margarette Harley. Pada tahun 1903 guru- guru Philadelphia
(Philadelphia Teachers Association ). Melalui asosiasi inilah guru- guru
bangkit untuk meningkatkan martabat hidupnya, yang hasilnya antara lain
guru-guru memperoleh gaji lebih baik.
Berkaitan langsung dengan prakarsa
MBS, di negara maju reformasi pendidikan, khususnya reformasi manajemen
pendidikan, selama lebih dari empat puluh tahun terakhir terus berporos pada
desentralisasi. Menurut Bailey (1991) di Amerika Serikat, misalnya sejak tahun
1960-an hingga tahun 1990-an, secara prinsip telah berjalan “empat generasi” gerakan reformasi manajemen pendidikan. Dari
“empat generasi” gerakan reformasi tersebut, semuanya menjurus kepada
desentralisasi hingga sampai kepada istilah disebut sebagai MBS. Seperti
disebutkan terdahulu, MBS merupakan pengindonesiaan dari school-based management (SBM) atau istilah school-site management (SSM).
Di Indonesia sendiri, telah
banyak usaha yang dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di tingkat
pendidikan dasar. Namun hasilnya kurang memuaskan. Secara garis besar faktor-faktor
penyebabnya adalah:
- Kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional hanya berfokus pada materi-materi yang akan diberikan tanpa memperhatikan proses dan aplikasinya dalam kehidupan.
- Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada putusan birokrasi. Oleh sebab itu sekolah menjadi tidak mandiri, kurang inisiatif dan miskin kreatifitas, sehingga usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu layanan pendidikan menjadi kurang termotivasi.
- Peran serta masyarakat, terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan, selama ini hanya terbatas pada dukungan dana, padahal mereka sangat penting dalam proses-proses pendidikan seperti pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi akuntabilitas. Oleh sebab itu perlu di sentralisasi pendidikan sebagai faktor pendorong MBS ini. selain itu terkadang orang tua tidak mampu menciptakan lingkungan pergaulan yang selaras dengan lingkungan pendidikan di sekolah, sehingga membuat siswa lebih sulit membangun kepribadian sesuai dengan yang diinginkan guru dan orang tua siswa.
Kenyataan
juga menunjukan bahwa sebagian rendahnya mutu pendidikan disebakan oleh
buruknya manajemen dan kebijakan pendidikan. Juran, salah seorang begawan
berpendapat bahwa masalah mutu 85% ditentukan manajemen, sisanya oleh faktor
yang lain. Manajemen sekolah selama Orde Baru yang sangat sentralistik telah
menempatkan sekolah pada posisi marginal, kurang diberdayakan, kurang mandiri,
pasif atau menunggu instruksi, bahkan inisiatif dan kreativitasnya terpasung.
Akan tetapi, sejalan dengan reformasi dan demokratisasi pendidikan yang sedang
bergulir, pemerintah bertekad bulat untuk melaksanakan desentralisasi
pendidikan yang bertumpu pada pemberdayaan sekolah di semua jenjang pendidikan.
Konsep
Manajemen Berbasis Sekolah atau disebut juga Site Based Management telah dicoba di Amerika, ternyata
telah membawa dampak terhadap peningkatan kualitas belajar mengajar. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya mekanisme yang lebih efektif, yaitu pengambilan
keputusan dapat dilakukan dengan cepat, sekaligus memberikan dorongan semangat kinerja baru sebagai motivasi
berprestasi kepada kepala sekolah dalam melakukan tugasnya
sebagai manajer sekolah. Berdasarkan
hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, konsep Site Based Management
merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan
keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran pendidikan, sumberdaya pendidik,
kurikulum dan evaluasi pendidikan (penilaian).
Sementara di Australia, School
Based Management merupakan refleksi pengelolaan desentralisasi pendidikan
yang menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menetapkan kebijakan yang menyangkut visi, misi, dan tujuan atau sasaran
sekolah yang membawa implikasi terhadap pengembangan kurikulum sekolah dan
program-program operatif sekolah yang lain
Dalam
banyak kasus disebutkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah telah membawa dampak
positif seperti yang dialami oleh sekolah-sekolah di beberapa negara antara
lain di Selandia Baru, dan Chile.
Dengan belajar keberhasilan
di negara lain seiring dengan diberlakukannnya Undang-undang Otonomi Daerah
yaitu UU.No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang N0.25
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka semakin membuka peluang
kebijakan pendidikan di Indonesia mengalami desentralisasi pula yang salah satu
bentuknya berupa Manajemen Berbasis Sekolah.
Kebijakan
MBS di Indonesia secara relatif sungguh-sungguh baru dimulai sejak tahun
1999/2000, yaitu dengan peluncuran dana bantuan yang disebut dengan Bantuan
Operasional Manajemen Mutu. Dana bantuan ini disetor langsung ke rekening
sekolah, tidak melalui alur birokrasi pendidikan diatasnya (Dinas Diknas).
Memasuki tahunanggaran 2003, dana BOMM itu diubah namanya menjadi Dana Rintisan untuk MPMBS, khususnya
untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Program ini sejalan dengan implementasi
dari Undang-Undang (UU) No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dibidang
pendidikan dan Undang-Undang No 25 tahun 2000 tentang program pembangunan
nasional (Propenas).
Terminologi
MBS atau pendidikan berbasis masyarkat (PBM) dimuat dalam Undang-Undang No 25
tahun 2000 tentang Propenas. Menurut Undang-Undang ini MBS dimaksudkan sebagai
upaya untuk meningkatkan kemandirian sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Perwujudan school/community – based
education ini ditandai dengan pembentukan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan Kabupaten atau Kota.
Sejarah baru pengelolaan
pendidikan di Indonesia melalui MBS menjadikan pengelolaan pendidikan di
Indonesia berpola desentralisasi, otonomi, pengambilan keputusan secara partisipatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar