Salah satu alasan terpenting mengapa
pembelajaran kooperatif dikembangkan adalah bahwa para pendidik dan ilmuwan
sosial telah lama mengetahui tentang pengaruh yang merusak dari persaingan yang
sering digunakan di dalam kelas. Ini bukannya ingin mengatakan bahwa persaingan
itu salah; jika diatur dengan baik, persaingan di antara para pesaingyang
sesuai dapat menjadi sasaran yang efektif dan tidak berbahaya untuk memotivasi
orang untuk melakukan yang terbaik. Namun bentuk-bentuk persaingan yang biasanya
digunakan di dalam kelas jarang sekali bersifat efektif dan sehat.[1]
Pembelajaran kooperatif adalah konsep yang
lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum, pembelajaran
kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, dimana guru menetapkan tugas dan
pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang
dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah. Guru biasanya
menetapkan bentuk ujian tertentu pada akhir tugas. (Agus 54-55)
Dukungan teori kontruktivisme Vygotsky
telah meletakkan arti penting model pembelajaran kooperatif. Kontruktivisme
social Vygotsky menekankan bahwa pengetahuan dibangun dan dikontruksi secara
mutual. Peserta didik berada dalam konteks sosiohistoris. Keterlibatan dengan
orang lain membuka kesempatan bagi mereka mengevaluasi dan memperbaiki
pemahaman. Dengan cara ini, pengalaman dalam konteks sosial memberikan
mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran peserta didik. (Agus 55)
Dalam metode pembelajaran kooperatif, para
siswa akan duduk bersama dengan kelompok yang beranggotakan empat orang untuk
menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Sebagai contoh misalnya, dalam
metode yang disebut Students Team-Achievement
Division atau STAD (Slavin,
1986a)-seorang guru bisa saja menyampaikan pelajaran tentang membaca peta,
kemudian memberikan waktu kepada siswa untuk bekerja dengan peta dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang yang berkaitan dengan soal itu bersama anggota tim
nya. Anggota tim heterogen yang terdiri dari siswa berprestasi tinggi, sedang,
rendah, laki-laki dan perempuan, dan berasal dari latar belakang etnik yang
berbeda. Setelah mendapatkan kesempatan untuk belajar dengan tim mereka, para
siswa mengerjakan kuis mengenai membaca peta secara sendiri-sendiri. Skor kuis
dari semua dicatat. Semua tim yang skor rata-rata kuisnya tinggi mendapatkan
penghargaan khusus, seperti sertifikat yang menarik atau menempatkan foto
anggota tim mereka di rueng kelas. (Slavin 8)
Ide yang melatarbelakangi bentuk
pembelajaran kooperatif semacam ini adalah apabila para siswa ingin agar timnya
berhasil, mereka akan mendorong anggota timnya untuk lebih baik dan akan
membantu mereka melakukannya. Sering kali, para siswa mampu melakukan pekerjaan
yang luar biasa dalam menjelaskan gagasan-gagasan yang sulit satu sama lain
dengan menerjemahkan bahasa-bahasa yang digunakan guru ke dalam bahasa
anaka-anak.
[1] Robert E. Slavin, Cooperative
Lerning Teori, Riset dan Praktik, (Bandung:Penerbit Nusa Media, 2009) h.7
[2] Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM, (Surabaya:Pustaka Pelajar,20010) h.46
[2] Agus Suprijono, Cooperative Learning Teori & Aplikasi PAIKEM, (Surabaya:Pustaka Pelajar,20010) h.46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar