Kamis, 12 Januari 2017

Teori Belajar Mengajar Brownwell




Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei 1977, yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he characterized his point of view as the “meaning theory.” In developing it, he laid the foundation for the emergence of the “new mathematics.” He showed that understanding, not sheer repetition, is the basis for children's mathematical learning…” pada penelitiannya mengenai pembelajaran anak khususnya pada aritmetika mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam pengertian.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna)  yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).
Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:
a.   Matematika (aritmatika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar) dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan.
b.     Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa diperhatikan pengertiannya.
c.      Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan nanti pada kesempatan lain.
d.     Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui pengulangan atau drill.

Brownell mengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran matematika.
a.       Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai. Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.
b.      Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berfikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6,  9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.
c.       Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini merupakan kriteria  penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak. Jelas dari sudut pandang ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berfikir secara kuantitatif. Agar siswa dapat berfikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipejarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill (balapan).

Menurut brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara mekanis dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan  utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan atau pentingnya kemampuan berfikir dalam situasi kuantitatif.
Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan berfikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan. Pentingnya bilangan (the significance of number) adalah nilainya atau pentingnya dalam kehidupan keseharian manusia.
Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number) adalah bersifat intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.
Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui makna dari apa yang dipelajari.

Pengaplikasian teori kognitif  Brownell dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai berikut:
a.       Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu, guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
b.       Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
c.        Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
d.       Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
e.        Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan siswa lain.
Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell bahwa pengajaran operasi hitung akan mudah dipahami oleh siswa apabila makna bilangan dan operasinya diikutsertakan dalam proses operasi. Kita percaya bukan keputusan mengajarkan matematika dengan bermakna saja yang dapat menyebabkan perubahan dalam reformasi pendidikan, tetapi bagaimana cara kita menginterpretasikan istilah pembelajaran matematika yang bermakna yang telah dan akan melanjutkan usaha perbaikan dalam matematika. Tentu saja pengajar (guru) matematika harus berusaha mengajar dengan efektif dan bermakna. Karena pada hakikatnya mengajarkan matematika dengan lebih bermakna akan mengantarkan siswa pada sikap menghargai matematika sebagai ilmu yang memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Hudoyo, Herman.1988.Belajar Mengajar Matematika.Jakarta:Depdikbud
Sudjana, Nana. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo Offset.
William Arthur Brownell, Education: Berkeley , University of California: In Memoriam, September 1978
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar