Kampusku
adalah tempatku untuk menuntut ilmu dan mencapai masa depanku. Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa, itulah kampusku. Terletak di Jl.Raya Jakarta Km. 4, Pakupatan,
Serang, dan merupakan universitas
negeri di Banten. Adalah bangga ketika kami memiliki status sebagai mahasiswa
dari universitas negeri “satu-satunya” di Banten. Namun di balik itu, kenyataannya
banyak keluhan-keluhan di dalamnya yang saya atau mungkin mahasiswa lainnya
alami.
Ketika pertama kali masuk ke kampus, hal yang sering dikeluhkan oleh mahasiswa, termasuk saya yakni lahan parkir
yang sempit. Ya, lahan parkir yang sempit mungkin membuat mahasiswa tidak nyaman. Tidak hanya itu, banyak pengguna kendaraan, baik motor maupun
mobil yang parkir di sembarang tempat di sekitar kampus, juga membuat ruang
untuk pejalan kaki menjadi tidak nyaman. Melihat kondisi ini, semestinya pihak
rektorat menyiapkan lahan parkir yang lebih luas. Selain itu juga, perlu adanya
kesadaran bagi pihak pengendara, baik dosen maupun mahasiswa yang hendak
memarkirkan kendaraan nya di lahan kampus agar lebih tertib dan sesuai
tempatnya agar tidak mengganggu kenyamanan dan mengganggu ruang untuk para pejalan kaki.
Kemudian salah satu yang menjadi keluhanku, ketika hendak masuk mesjid kampus. Banyak
sampah-sampah kertas atau bungkus makanan berserakan di teras mesjid. Karena
mahasiswa tidak punya tempat untuk, misalnya belajar atau kerja kelompok di
luar kelas mahasiswa mengguanakan teras mesjid untuk belajar dsb. Namun mahasiswa
yang melakukan kegiatan di teras mesjid, tidak memperhatikan kebersihan dengan
tidak membuang sampah pada tempatnya. Alhasil mesjid menjadi kotor. Padahal sering
diingati berkali-kali, namun sepertinya masalah “apatis” yang banyak dimiliki
oleh mahasiswa sehingga terkesan dibiarkan begitu saja. Kemudian yang disalahkan
adalah, pengurus mesjid atau orang-orang mesjid. Kita tidak bisa menyalahkan siapapun karena masjid
kampus adalah miliki kita bersama, seharusnya kita yang menjaga dan merawatnya. Sikap apatis dari hal kecil ini saja sebaiknya harus diperbaiki.
Kemudian
kita lihat dari tempat kami menimba ilmu sehari-hari, yaitu ruang kelas. Hal-hal yang seharusnya menjadi hak bagi mahasiswa sebaiknya perlu
diperhatikan, misalnya saja fasilitas ruang kelas. Ruang kelas seharusnya memberikan
kenyamanan bagi mahasiswa sehingga dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Namun
proses belajar kami harus terganggu,
karena masalah infocus yang rusak. Dosen yang hendak menerangkan pelajaran pun
jadi sulit, behitu juga mahasiswa untuk keperluan presentasi tugas dsb juga
menjadi terhambat. Selain itu, ruang kelas yang panas karena AC yang tidak berfungsi
sebagaimana mestinya, membuat mahasiswa dan dosen hanya bisa “kipas-kipas”
ketika pembelajaran berlangsung. Lalu papan tulis yang kurang layak dan bangku
yang rusak/tidak layak pakai juga masih ada di ruang kelas kami. Melihat sedikit
lebih jauh dari ruang kelas, yaitu toilet kampus yang sebagian tidak berfungsi
dan tidak ada penanda untuk toilet laki-laki maupun perempuan.
Selain
masalah fasilitas, juga banyak carut-marut yang terjadi di kampus kami, seperti
masalah krisis kepercayaan maupun sikap apatis. Lalu dalam pemilihan presma,
ketua bem, ketua hima seharusnya bukan menjadi ajang mencari popularitas dan
kekuasaan, atau untuk kepentingan satu kelompok saja. Bukan hal itu yang
diharapkan, tetapi banyak hal yang perlu dibenahi bersama-sama.
Dalam situasi
seperti, baik pihak mahasiswa, ormawa maupun rektorat seharusnya duduk
bersama-sama membicarakan masalah yang ada dan berusaha memperbaiki agar tejadi
perubahan yang lebih baik bagi kampus kami. Selain itu organisasi mahasiswa,
baik internal maupun eksternal juga seharusnya tidak hanya mementingkan politik
masing-masing saja, tidak saling menyalahkan antar organisasi tetapi juga perlu
bersama-sama untuk satukan visi, satukan gerakan, dan merapatkan barisan untuk
melakukan perubahan menuju masa depan untirta yang lebih baik lagi. Kemudian dari mahasiswa, mulai meningkatkan kepedulian kita terhadap kampus dari hal-hal kecil seperti menjaga dan merawat fasilitas kampus. Bagaimanapun,
kalau bukan mahasiswa di dalamnya siapa lagi yang akan melakukan nya, karena
mahasiswa adalah agent of change (agen dari perubahan).
Ya ampun, ada apa dengan Banten? Udah kasus Ratu Atut, kemaren-kemaren denger-denger katanya korupsi di Banten itu banyak sekali, kacau ini.
BalasHapusKalo dibiarin bahaya, nanti kesananya terus berlanjut, sampai-sampai ke titik akhir, gawat, nanti bisa-bisa kampusnya hancur/bangkrut.
Perlu dipotong dari sekarang, mulai berubah secara perlahan, jangan dibiarkan. Bagaimana kedepannya coba kalau terus begitu?
Bagus non kalo ada yang menyadari 'kekacauan' ini, tapi non harus bisa benar-benar bergerak, bersama-sama dengan yang lainnya, bukan hanya (maaf) omongan saja. Ayo bergerak! sebelum semuanya terlambat.